HUKUM PERJANJIAN
Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal
ini pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa
seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang
saling berjanji satu sama lain untuk melakukan sesuatu hal. Sedangkan, hukum
perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan
ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan
tuntuatan atau memenuhi tuntutan tersebut.
Sehingga
dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum perjanjian akan menimbulkan hukum
perikatan. Artinya, tidak akan ada kesepakatan yang mengikat seseorang jika
tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh masing-masing pihak. Jadi,
perikatan merupakan konsekuensi logis adanya perjanjian. Hukum perjanjian akan
sah dihadapan hukum jika memenuhi syarat sahnya.
Syarat Sah Hukum Perjanjian
Hukum
adalah sebuah sistem yang sangat penting untuk menindaklanjuti penyalahgunaan
sebuah aturan yang berlaku. Kata hukum berasal dari bahasa Arab, huk’mun, artinya menetapkan. Hukum yang
berlaku di masyarakat ini dibagi menjadi beberapa bagian. Hukum-hukum tersebut
adalah hukum pidana atau hukum public, hukum perdata atau hukum pribadi, hukum
acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum agama, hukum agrarian, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.
Berikut
ini syarat sah hukum perjanjian yang penting dicatat, yaitu sebagai berikut.
- Terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak manapun, sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.
- Kedua belah pihak mampu membuat sebuat perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut.
- Terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan obyek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
1. Keinginan Bebas dari Pihak Terkait
Keinginan bebas dalam hal ini berarti bahwa
pihak-pihak yang terlibat melakukan perjanjian tanpa paksaan, ancaman, apapun
segala hal berbau tipu daya. Perjanjian merupakan bentuk yang harus dilakukan
secara sadar. Namun, faktanya masih ditemukan orang-orang yang membuat
perjanjian dibawah tekanan atau ancaman.
2. Kecakapan dari Pembuat Perjanjian
Maksudnya adalah perjanjian harus dibuat oleh
pihak-pihak yang secara hukum dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum.
3. 3. Ada Objek yang Diperjanjikan
Perjanjian tentu harus dibuat berdasarkan objek yang
nyata, bukan sesuatu yang sifatnya fiktif.
4. 4. Adanya Sebab yang Halal
Sebab yang halal dalam hal ini berate bahwa sesuatu
yang diperjanjikan harus sejalan dengan kaidah moral dan norma yang berlaku
secara umum sebagai kebiasaan serta peraturan perundangan. Perjanjian tentu
tidak sah jika bertantangan dengan kesusilaan.
Kekuatan Materai dalam Hukum
Perjanjian
Menurut
UU No. 13 Tahun 1985 mengenai Bea Materai, kekuatan materai terhadap sebuah
perjanjian dan surat-surat lain digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Untuk alasan itulah,
dokumen tersebut perlu dibubuhi bea materai.
Perjanjian
yang tidak menyertakan materai di dalam suratnya tidak lantas berarti perbuatan
hukum dan perjanjian itu tidak sah. Surat tersebut tetap dianggap sah, namun
tidak memenuhi syarat pembuktian. Dengan kata lain, surat tersebut tidak bisa
dianggap sebagai alat bukti. Dengan demikian, perbuatan hukum dalam perjanjian,
misalnya jual beli, tetap dianggap sah meskipun tanpa materai. Seperti yang
telah disebutkan, materai berfungsi sebagai syarat pembuktian, bukan sebagai
tolak ukur sah atau tidaknya sebuah perjanjian. Sah atau tidaknya perjanjian
telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab undang-undang Hukum perdata, bukan secara
materai. Jadi, jika suatu saat anda akan menggunakan surat di dalam perjanjian
tanpa materai sebagai alat bukti di pengadilan, pemberian materinya dapat
dilakukan belakangan. Pemberian materai “susulan” ini dikenal dengan istilah nazegelen.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa surat perjanjian yang ditandatangani tanpa materai
masih sah digunakan dan dapat dipakai sebagai alat bukti dengan penempelan
materai belakangan. Hal yang perlu diingat bahwa tidak dilunasinya materai
dalam dokumen tersebut akan berdampak pada kekuatan dokumen sebagai alat bukti.
Dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1331 (1) dinyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebgai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Artinya, apabila objek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan
niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjnjian tersebut dibatalkan demi
hukum. Jadi, masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan
hakim.
Akan
tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memenuhi unsur subjektif, misalnya salah
satu pihak berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, makan perjanjian
ini dapat dibatalkan di hadapan hakim. Jadi, perjanjian tersebut tidak akan
mengikat kedua belah pihak.
Hukum
perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi
perjanjian. Terdapat langkah pasti yang bisa mengatasi persoalan ini, yaitu
pihak yang tidak melaksankan perjanjian akan diminta tanggung jawabnya sebagi
pihak yang telah lalai atau bahkan melanggar perjanjian. Pihak yang tidak
melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
- Mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yangsatunya;
- Materi perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak atau hadapan hakim;
- Mendapatkan peralihan resiko; dan
- Membayar seluruh biaya perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya ke muka hakim.