Jumat, 08 November 2013

Evaluasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia : Benang Kusut Masalah Kemiskinan dan Pengangguran

CONTOH TULISAN ILMIAH POPULER

Evaluasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia : Benang Kusut Masalah Kemiskinan dan Pengangguran

PENDAHULUAN
Persistensi tingkat kemiskinan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir berkisar antara 16 18 persen memberikan sinyalemen bahwa ada sesuatu yang perlu dicermati dan dikaji ulang atas strategi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah yang selama ini lebih terfokus pada premis income sebagai landasan bagi strategi, kebijakan, dan program dalam memberantas kemiskinan di negeri ini. Dilihat dari sisi alokasi anggaran yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan, pemerintah tampaknya sudah memiliki semangat yang positif untuk memerangi kemisikinan. Sejak tahun 2004, alokasi anggaran untuk pengurangan terus meningkat dari Rp 18 triliun menjadi Rp 51 triliun di tahun 2007 ini.
Anggaran pengentasan kemiskinan ini disalurkan melalui beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, bantuan sekolah/pendidikan, bantuan kesehatan gratis, pembangunan perumahan rakyat, dan pemberian kredit mikro. Semua program tersebut umumnya bertitik tolak dari paradigma pendapatan (income) sebagai patokan dalam memberantas kemiskinan. Namun dalam realitasnya, tingkat kemiskinan dan pengangguran belum menunjukkan penurunan yang cukup signifikan.
Jika melihat kondisi perekonomian Indonesia yang secara makro menujukkan performa yang baik, namun di sisi lain realitas ketimpangan dan kemiskinan yang masih menyelimuti sebagian besar rakyat Indonesia pertumbuhan ekonomi yang dicapai belum dapat mengurangi kemiskinan karena distribusi pendapatan belum merata. Persoalan yang perlu dicermati lebih jauh adalah bagaimana mewujudkan keadilan bagi segenap rakyat dengan membuka katup-katup pembatas saluran distribusi pendapatan dan peluang/kesempatan ekonomi dari prestasi pertumbuhan ekonomi yang ada.

Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Pengangguran
Ada beberapa faktor yang perlu menjadi catatan dalam kaitannya dengan hal tersebut, Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja rendah, tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya lebih memberikan keberpihakan kepada pengembangan sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun ditopang oleh keberadaan industri milik negara yang memperoleh sejumlah proteksi tertentu juga tidak menjamin akan dapat menyelesaikan kemiskinan. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh industri canggih juga berpotensi untuk memperparah masalah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerje berkemampuan rendah (low skill labour). Keempat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi dengan ditunjang oleh kekuatan ekonomi yang bersifat terkonsentrasi juga tidak akan sanggup mengatasi masalah kemiskinan (Rajasa, 2007). Di samping itu, setidaknya beberapa penyebab masih tingginya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia adalah:
  • Iklim investasi yang belum kondusif (kepastian hukum dan kelambanan birokrasi)
  • Investasi pemerintah yang belum optimal dalam penyediaan fasilitas publik
  • Faktor eksternal ekonomi global (melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global dan melambungnya harga minyak).


Penyebab Kemiskinan
Berbagai kelompok orang yang tergolong miskin menjadi miskin karena berbagai penyebab dan alasan yang berbeda. Devereux (2002) membagi determinan penyebab kemiskinan ke dalam tiga kelompok yakni, pertama, produktivitas rendah - ketidakcukupan pendapatan atas upaya kerja dan minimnya kepemilikan dan utilisasi input-input produktif; kedua, kerentanan (vulnerability) resiko dan konsekuensi atas turunnya pendapatan dan konsumsi; dan ketiga, ketergantungan (dependency) - ketidakmampuan untuk menghasilkan pendapatan akibat ketidakmampuan untuk bekerja.
Kemiskinan yang disebabkan oleh produktivitas rendah dapat diatasi dengan kebijakan intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dalam bentuk program peningkatan produktivitas, sementara itu, kerapuhan dalam pendapatan kaum miskin dapat diatasi dengan kebijakan jaringan pengaman sosial jangka pendek baik dalam bentuk tunai atau bahan makanan, upaya perbaikan sistem pendapatan, atau penciptaan kesempatan dalam memperoleh pendapatan. Terakhir, kemiskinan yang disebabkan oleh ketergantungan akibat ketidakmampuan fisik, mental, usia lanjut, kebijakan yang tepat adalah dengan membangun sistem kesejahteraan sosial (social welfare) antara lain melalui program semacam bantuan tunai langsung.
Program pengentasan yang dijalankan oleh pemerintah selama ini cenderung masih menggeneralisir persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh sebagian besar warga bangsa ini. Jika melihat varian penyebab kemiskinan sebagaimana disebut di atas, pemerintah seyogyanya memetakan terlebih dahulu persoalan kemiskinan untuk kemudian melakukan kebijakan intervensi dalam mengentaskan kemiskinan berdasarkan karakteristik penyebab kemiskinan yang ada. Secara umum, problematika kemiskinan di Indonesia berakar dari minimnya akses dan kesempatan untuk memperoleh kesempatan kerja. Jika dirunut lebih jauh lagi, keterbatasan akses tersebut disebabkan oleh akses terhadap pendidikan yang semakin sempit. Konsekuensinya, kemampuan dan keterampilan yang mereka miliki sangat rendah. Posisi tawar mereka pun akhirnya rendah di tengah tuntutan pasar kerja yang semakin kompetitif. Oleh karenanya, benar kata A.K. Sen, bahwa orang menjadi miskin bukan hanya karena mereka tidak memiliki sesuatu tetapi juga karena mereka tidak dapat melakukan sesuatu akibat keterbatasan akses.

Pengentasan Kemiskinan Berbasis Aset
Pendekatan aset ini mendorong kita untuk melihat bahwa minimnya aset produktif yang dimiliki kaum miskin membuat mereka sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Lebih jauh, pendekatan ini akan memungkinkan suatu terobosan penting dalam melahirkan kebijakan-kebijakan dalam memerangi kemiskinan. Aset di sini pun tidak hanya aset-aset yang bersifat finansial namun juga meliputi modal insani (human capital), modal sosial, dan aset-aset fisik lainnya yang dapat diakumulasi, disimpan, dan diuangkan pada saat-saat yang diperlukan. Strategi baru ini bertujuan untuk benar-benar mengentaskan kaum miskin lepas dari jeratan kemiskinan dan bukan sekedar mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum miskin yang sifatnya ad hoc dan tak berkesinambungan. Lebih jauh, perspektif ini sangat berguna ketika melihat mereka yang berada pada resiko kemiskinan persisten dimana bantuan tunai tidak dapat mengatasi hambatan-hambatan struktural yang selama ini menghambat mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya juga merupakan hambatan kunci terhadap kemakmuran.
Program-program membangun aset baik di negara-negara berkembang maupun maju adalah upaya untuk menstimulasi semakimal mungkin kaum miskin untuk menghasilkan pendapatan dari utilisasi aset produktif dan bisa menabung untuk mengantisipasi keadaan-keadaan tak terduga (precautionary saving) serta mulai membiasakan untuk melakukan investasi yang bertujuan untuk menopang ketidakstabilan pendapatan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk keluar dari kubangan kemiskinan. Sejumlah program microfinance di negara-negara berkembang yang berfokus untuk mendanai kegiatan-kegiatan kewirausahaan dimana pemberian kredit didasarkan atas konsistensi kaum miskin yang telah terbukti bahwa pada dasarnya kaum miskin pun memiliki ketaatan untuk menabung.

Mengatasi Pengangguran
Terkait dengan penciptaan lapangan kerja guna mengurangi pengangguran, perlu diciptakan suasana yang kondusif demi tersemainya semangat kewirausahaan di kalangan warga bangsa. Salah satu problematika yang masih menggelayuti adalah sulitnya usaha kecil dan menengah serta sektor informal yang banyak menyerap tenaga kerja. Selama ini, hambatan struktural yang mengemuka adalah rigiditas aturan formalisasi yang mewajibkan mereka untuk memenuhi persyaratan legal formal. Konsekuensinya, mereka banyak bergerak di luar pasar yang memerlukan persyaratan legal formal. Seperti kata Hernando de Soto, kaum miskin sebenarnya memiliki elan untuk menstranformasikan capital ke dalam bentuk usaha-usaha produktif. Hal ini terbukti bahwa sektor-sektor ekonomi informal yang dijalankan oleh kalangan masyarakat bawah justru dapat bertahan dari hantaman krisis yang mendera sejak 1997 yang lalu. Pemerintah sudah seharusnya bisa memfasilitasi mereka dengan memberikan kemudahan dan akses untuk berusaha. Dalam hal ini ada baiknya pemerintah sesegera mungkin membantu para pegiat ekonomi lemah dan kaum miskin ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan seperti dalam aspek hukum (legal) dan jaminan akan property rights seperti yang dianjurkan oleh Hernando de Soto (2000) dalam bukunya yang legendaris The Mystery of Capital

Kemiskinan dan Akses Pendidikan
Potret kemiskinan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masalah masih rendahnya tingkat pendidikan para pekerja. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja usia 15 tahun ke atas ternyata didominasi oleh pekerja yang tidak sekolah, tidak tamat SD, lulusan SD dan lulusan SMP. Jumlah mereka ini sekitar 75 % dari total pekerja usia 15 tahun ke atas di Indonesia. Mayoritas dari mereka ini adalah pekerja di sektor pertanian yang memberikan upah sangat rendah. Uniknya, jumlah pekerja berpendidikan rendah ini tidak banyak berubah dari semenjak sebelum krisis ekonomi, masa krisis ekonomi dan hingga kini. Fenomena ini jelas mengindikasikan bahwa pekerja yang berada dalam kelompok ini sangat rentan untuk terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang berkelanjutan. Lebih jauh dari itu, bukan tidak mungkin data ini mengindikasikan bahwa penduduk miskin saat ini adalah berasal dari keturunan yang sama dari penduduk miskin sebelumnya.
Fenomena ini jelas sangat mengkhawatirkan untuk kelanjutan proses pembangunan ke depan. Dalam konteks makro, rendahnya level pendidikan para pekerja akan menyebabkan rendahnya produktivitas dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan lambat. Jika hal ini terjadi, penyerapan tenaga kerja akan semakin berkurang dan perbaikan kualitas hidup penduduk miskin akan terus terhambat.
Potret suram angkatan kerja berpendidikan rendah ini juga tercermin dalam statistik pengangguran. Dari jumlah total pengangguran terbuka tahun 2007 (Pebruari) yang sekitar 10,5 juta jiwa, ternyata 57,5 % nya berasal dari pengangguran dengan pendidikan tidak tamat SD, tamat SD dan SMP. Di sisi lain, data ini juga mengindikasikan bahwa angkatan kerja dengan pendidikan lebih tinggi tidak berarti mendapatkan jaminan penuh akan mendapatkan pekerjaan. Sekitar 42,5 % dari total penganggur ini adalah angkatan kerja yang berpendidikan SMA ke atas. Susahnya mereka mendapat pekerjaan ini salah satunya disebabkan oleh tidak siapnya mereka dalam mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja, sehingga ada gap antara kualifikasi yang diminta pemberi kerja dengan mereka sebagai pencari kerja. Hal ini diperparah dengan rendahnya jiwa ¡§enterpreneurship¡¨ dalam diri angkatan kerja lulusan SMA, Diploma dan Universitas. Tentu ini bukan kesalahan mereka semata, pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan nasional belum mampu menyusun kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi yang bisa mengarahkan mereka untuk menjadi enterpreuneur ketika kelak lulus dari bangku kuliah. Jadi intinya, perlu ada reorientasi pendidikan, khususnya di perguruan tinggi untuk lebih mengarah pada penciptaan lulusan yang siap terjun menjadi enterpreneur.
Pola pengembangan pendidikan tinggi yang berorientasi dalam menciptakan enterpreneur ini akan berjalan lancar jika dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, khususnya yang menangani masalah kebijakan moneter dan perbankan. Lembaga pemerintah yang bergerak dalam dua bidang ini harus memberikan akses kredit yang cukup kepada para lulusan SMA dan perguruan tinggi yang telah dididik dalam pola enterpreneur education ini, misalnya dengan meluncurkan young enterpreneur credit program¨. Lebih jauh dari itu, pemerintah melalui bank-bank BUMN bisa membentuk suatu lembaga keuangan khusus yang memang diarahkan untuk mendanai bisnis yang dirintis oleh para enterpreneur muda ini.
Perbaikan dan peningkatan akses pendidikan secara gratis adalah salah satu kunci mengatasi masalah rumit pendidikan dan kemiskinan ini. Mengapa pendidikan ini penting untuk mengatasi kemiskinan? Mengutip hasil penelitian Denison (1962) dan Solow (1957), Todaro menyebutkan bahwa sumber utama dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara-negara maju saat ini bukanlah physical capital, melainkan human capital¨.

Rekomendasi Ke Depan
Kebijakan yang seyogyanya ditempuh oleh pemerintah untuk mengurai problematika kemiskinan ini antara lain dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dengan landasan investasi baik asing maupun domestik. Dalam kaitannya dengan investasi sebagai salah satu prasyarat pendorong pertumbuhan ekonomi, pemantapan kemandirian potensi ekonomi lokal perlu diperkuat mengingat situasi ekonomi global yang tak menentu. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan akan investasi asing yang belum tentu akan berdampak positif bagi penciptaan lapangan kerja baru. Di sisi lain, investasi dan belanja pemerintah perlu lebih diarahkan kepada pembangunan infrastruktur terutama di pedesaan untuk mendorong dan memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat. Keberpihakan kepada rakyat perlu dipertegas dengan mengurangi rigiditas pendistribusian anggaran dan efisiensi anggaran untuk lebih ditujukan kepada proyek yang mampu memberdayakan masyarakat.
Perbaikan dan peningkatan akses pendidikan secara gratis adalah salah satu kunci mengatasi masalah rumit pendidikan dan kemiskinan ini. Mengapa pendidikan ini penting untuk mengatasi kemiskinan? Mengutip hasil penelitian Denison (1962) dan Solow (1957), Todaro menyebutkan bahwa sumber utama dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara-negara maju saat ini bukanlah physical capital, melainkan human capital. Oleh karenanya, komitmen pemerintah yang benar-benar nyata sangat ditunggu. Selain akses pendidikan yang harus terbuka lebar, orientasi pendidikan pun harus diarahkan kepada penciptaan lulusan sekolah yang mampu menjadi wirausaha yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja, bukan hanya sekedar pencari kerja. Pemerintah pun perlu memberikan dukungan dan penyederhanaan aturan dalam mendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha baru.
Ke depan, kiranya upaya-upaya untuk memerangi kemiskinan lebih difokuskan ke arah pengembangan aset ekonomi produktif bagi kaum miskin. Hal ini bisa dilakukan dengan membantu kaum miskin yang memiliki usaha kecil dan semangat kewirausahaan dengan bantuan permodalan, pemberian kepastian hukum atas lahan yang dimiliki petani gurem, fasilitasi PKL tanpa mengenyampingkan habitat usaha dan prospek pasar atas barang dagangan mereka.

Akhirnya Pemerintah dan DPR diharapkan memiliki visi yang sama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran dengan mengalokasikan anggaran untuk membuat kebijakan mengoptimalkan modal kerja bagi masyarakat miskin yang berdampak jangka panjang, dukungan terhadap infrastruktur di pedesaan. Pemerintah pusat dan peran pemerintah daerah sangat dimungkinkan untuk memfasilitasi program ini.

SUMBER: