Evaluasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia : Benang Kusut
Masalah Kemiskinan dan Pengangguran
PENDAHULUAN
Persistensi tingkat kemiskinan
di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir berkisar antara 16 18 persen
memberikan sinyalemen bahwa ada sesuatu yang perlu dicermati dan dikaji ulang
atas strategi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan yang dijalankan
oleh pemerintah yang selama ini lebih terfokus pada premis income sebagai
landasan bagi strategi, kebijakan, dan program dalam memberantas kemiskinan di
negeri ini. Dilihat dari sisi alokasi anggaran yang ditujukan untuk pengentasan
kemiskinan, pemerintah tampaknya sudah memiliki semangat yang positif untuk
memerangi kemisikinan. Sejak tahun 2004, alokasi anggaran untuk pengurangan
terus meningkat dari Rp 18 triliun menjadi Rp 51 triliun di tahun 2007 ini.
Anggaran pengentasan kemiskinan
ini disalurkan melalui beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Raskin, bantuan sekolah/pendidikan, bantuan kesehatan gratis, pembangunan
perumahan rakyat, dan pemberian kredit mikro. Semua program tersebut umumnya
bertitik tolak dari paradigma pendapatan (income) sebagai patokan dalam
memberantas kemiskinan. Namun dalam realitasnya, tingkat kemiskinan dan
pengangguran belum menunjukkan penurunan yang cukup signifikan.
Jika melihat kondisi
perekonomian Indonesia yang secara makro menujukkan performa yang baik, namun
di sisi lain realitas ketimpangan dan kemiskinan yang masih menyelimuti
sebagian besar rakyat Indonesia pertumbuhan ekonomi yang dicapai belum dapat
mengurangi kemiskinan karena distribusi pendapatan belum merata. Persoalan yang
perlu dicermati lebih jauh adalah bagaimana mewujudkan keadilan bagi segenap
rakyat dengan membuka katup-katup pembatas saluran distribusi pendapatan dan
peluang/kesempatan ekonomi dari prestasi pertumbuhan ekonomi yang ada.
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Pengangguran
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Pengangguran
Ada beberapa faktor yang perlu
menjadi catatan dalam kaitannya dengan hal tersebut, Pertama, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki
elastisitas lapangan kerja rendah, tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya lebih memberikan keberpihakan kepada
pengembangan sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya
sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan
kerja yang tersedia. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun ditopang oleh
keberadaan industri milik negara yang memperoleh sejumlah proteksi tertentu
juga tidak menjamin akan dapat menyelesaikan kemiskinan. Ketiga, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh industri canggih juga berpotensi untuk
memperparah masalah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga kerja yang
ada didominasi oleh tenaga kerje berkemampuan rendah (low skill labour).
Keempat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi dengan ditunjang oleh
kekuatan ekonomi yang bersifat terkonsentrasi juga tidak akan sanggup mengatasi
masalah kemiskinan (Rajasa, 2007). Di samping itu, setidaknya beberapa penyebab
masih tingginya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia adalah:
- Iklim investasi yang belum kondusif (kepastian hukum dan kelambanan birokrasi)
- Investasi pemerintah yang belum optimal dalam penyediaan fasilitas publik
- Faktor eksternal ekonomi global (melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global dan melambungnya harga minyak).
Penyebab Kemiskinan
Berbagai kelompok orang yang
tergolong miskin menjadi miskin karena berbagai penyebab dan alasan yang
berbeda. Devereux (2002) membagi determinan penyebab kemiskinan ke dalam tiga
kelompok yakni, pertama, produktivitas rendah - ketidakcukupan pendapatan atas
upaya kerja dan minimnya kepemilikan dan utilisasi input-input produktif;
kedua, kerentanan (vulnerability) resiko dan konsekuensi atas turunnya
pendapatan dan konsumsi; dan ketiga, ketergantungan (dependency) -
ketidakmampuan untuk menghasilkan pendapatan akibat ketidakmampuan untuk
bekerja.
Kemiskinan yang disebabkan oleh
produktivitas rendah dapat diatasi dengan kebijakan intervensi yang ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan dalam bentuk program peningkatan produktivitas,
sementara itu, kerapuhan dalam pendapatan kaum miskin dapat diatasi dengan
kebijakan jaringan pengaman sosial jangka pendek baik dalam bentuk tunai atau
bahan makanan, upaya perbaikan sistem pendapatan, atau penciptaan kesempatan
dalam memperoleh pendapatan. Terakhir, kemiskinan yang disebabkan oleh
ketergantungan akibat ketidakmampuan fisik, mental, usia lanjut, kebijakan yang
tepat adalah dengan membangun sistem kesejahteraan sosial (social welfare)
antara lain melalui program semacam bantuan tunai langsung.
Program pengentasan yang
dijalankan oleh pemerintah selama ini cenderung masih menggeneralisir persoalan
kemiskinan yang dihadapi oleh sebagian besar warga bangsa ini. Jika melihat
varian penyebab kemiskinan sebagaimana disebut di atas, pemerintah seyogyanya
memetakan terlebih dahulu persoalan kemiskinan untuk kemudian melakukan
kebijakan intervensi dalam mengentaskan kemiskinan berdasarkan karakteristik
penyebab kemiskinan yang ada. Secara umum, problematika kemiskinan di Indonesia
berakar dari minimnya akses dan kesempatan untuk memperoleh kesempatan kerja.
Jika dirunut lebih jauh lagi, keterbatasan akses tersebut disebabkan oleh akses
terhadap pendidikan yang semakin sempit. Konsekuensinya, kemampuan dan
keterampilan yang mereka miliki sangat rendah. Posisi tawar mereka pun akhirnya
rendah di tengah tuntutan pasar kerja yang semakin kompetitif. Oleh karenanya,
benar kata A.K. Sen, bahwa orang menjadi miskin bukan hanya karena mereka tidak
memiliki sesuatu tetapi juga karena mereka tidak dapat melakukan sesuatu akibat
keterbatasan akses.
Pengentasan Kemiskinan Berbasis Aset
Pengentasan Kemiskinan Berbasis Aset
Pendekatan aset ini mendorong
kita untuk melihat bahwa minimnya aset produktif yang dimiliki kaum miskin
membuat mereka sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Lebih jauh,
pendekatan ini akan memungkinkan suatu terobosan penting dalam melahirkan
kebijakan-kebijakan dalam memerangi kemiskinan. Aset di sini pun tidak hanya
aset-aset yang bersifat finansial namun juga meliputi modal insani (human
capital), modal sosial, dan aset-aset fisik lainnya yang dapat diakumulasi,
disimpan, dan diuangkan pada saat-saat yang diperlukan. Strategi baru ini
bertujuan untuk benar-benar mengentaskan kaum miskin lepas dari jeratan
kemiskinan dan bukan sekedar mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum
miskin yang sifatnya ad hoc dan tak berkesinambungan. Lebih jauh, perspektif
ini sangat berguna ketika melihat mereka yang berada pada resiko kemiskinan
persisten dimana bantuan tunai tidak dapat mengatasi hambatan-hambatan struktural
yang selama ini menghambat mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi
yang pada akhirnya juga merupakan hambatan kunci terhadap kemakmuran.
Program-program membangun aset
baik di negara-negara berkembang maupun maju adalah upaya untuk menstimulasi
semakimal mungkin kaum miskin untuk menghasilkan pendapatan dari utilisasi aset
produktif dan bisa menabung untuk mengantisipasi keadaan-keadaan tak terduga
(precautionary saving) serta mulai membiasakan untuk melakukan investasi yang
bertujuan untuk menopang ketidakstabilan pendapatan dan meningkatkan kemampuan
mereka untuk keluar dari kubangan kemiskinan. Sejumlah program microfinance di
negara-negara berkembang yang berfokus untuk mendanai kegiatan-kegiatan
kewirausahaan dimana pemberian kredit didasarkan atas konsistensi kaum miskin
yang telah terbukti bahwa pada dasarnya kaum miskin pun memiliki ketaatan untuk
menabung.
Mengatasi Pengangguran
Mengatasi Pengangguran
Terkait dengan penciptaan
lapangan kerja guna mengurangi pengangguran, perlu diciptakan suasana yang
kondusif demi tersemainya semangat kewirausahaan di kalangan warga bangsa.
Salah satu problematika yang masih menggelayuti adalah sulitnya usaha kecil dan
menengah serta sektor informal yang banyak menyerap tenaga kerja. Selama ini,
hambatan struktural yang mengemuka adalah rigiditas aturan formalisasi yang
mewajibkan mereka untuk memenuhi persyaratan legal formal. Konsekuensinya,
mereka banyak bergerak di luar pasar yang memerlukan persyaratan legal formal.
Seperti kata Hernando de Soto, kaum miskin sebenarnya memiliki elan untuk
menstranformasikan capital ke dalam bentuk usaha-usaha produktif. Hal ini
terbukti bahwa sektor-sektor ekonomi informal yang dijalankan oleh kalangan
masyarakat bawah justru dapat bertahan dari hantaman krisis yang mendera sejak
1997 yang lalu. Pemerintah sudah seharusnya bisa memfasilitasi mereka dengan
memberikan kemudahan dan akses untuk berusaha. Dalam hal ini ada baiknya
pemerintah sesegera mungkin membantu para pegiat ekonomi lemah dan kaum miskin
ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan seperti dalam aspek hukum (legal) dan
jaminan akan property rights seperti yang dianjurkan oleh Hernando de Soto
(2000) dalam bukunya yang legendaris The Mystery of Capital
Kemiskinan dan Akses Pendidikan
Kemiskinan dan Akses Pendidikan
Potret kemiskinan di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari masalah masih rendahnya tingkat pendidikan para
pekerja. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja usia 15 tahun ke atas
ternyata didominasi oleh pekerja yang tidak sekolah, tidak tamat SD, lulusan SD
dan lulusan SMP. Jumlah mereka ini sekitar 75 % dari total pekerja usia 15
tahun ke atas di Indonesia. Mayoritas dari mereka ini adalah pekerja di sektor
pertanian yang memberikan upah sangat rendah. Uniknya, jumlah pekerja
berpendidikan rendah ini tidak banyak berubah dari semenjak sebelum krisis
ekonomi, masa krisis ekonomi dan hingga kini. Fenomena ini jelas
mengindikasikan bahwa pekerja yang berada dalam kelompok ini sangat rentan
untuk terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang berkelanjutan. Lebih jauh dari
itu, bukan tidak mungkin data ini mengindikasikan bahwa penduduk miskin saat
ini adalah berasal dari keturunan yang sama dari penduduk miskin sebelumnya.
Fenomena ini jelas sangat
mengkhawatirkan untuk kelanjutan proses pembangunan ke depan. Dalam konteks
makro, rendahnya level pendidikan para pekerja akan menyebabkan rendahnya
produktivitas dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan lambat. Jika
hal ini terjadi, penyerapan tenaga kerja akan semakin berkurang dan perbaikan
kualitas hidup penduduk miskin akan terus terhambat.
Potret suram angkatan kerja
berpendidikan rendah ini juga tercermin dalam statistik pengangguran. Dari
jumlah total pengangguran terbuka tahun 2007 (Pebruari) yang sekitar 10,5 juta
jiwa, ternyata 57,5 % nya berasal dari pengangguran dengan pendidikan tidak
tamat SD, tamat SD dan SMP. Di sisi lain, data ini juga mengindikasikan bahwa
angkatan kerja dengan pendidikan lebih tinggi tidak berarti mendapatkan jaminan
penuh akan mendapatkan pekerjaan. Sekitar 42,5 % dari total penganggur ini
adalah angkatan kerja yang berpendidikan SMA ke atas. Susahnya mereka mendapat
pekerjaan ini salah satunya disebabkan oleh tidak siapnya mereka dalam
mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja, sehingga ada gap antara kualifikasi
yang diminta pemberi kerja dengan mereka sebagai pencari kerja. Hal ini
diperparah dengan rendahnya jiwa ¡§enterpreneurship¡¨ dalam diri angkatan kerja
lulusan SMA, Diploma dan Universitas. Tentu ini bukan kesalahan mereka semata,
pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan nasional belum mampu menyusun
kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi yang bisa mengarahkan mereka untuk
menjadi enterpreuneur ketika kelak lulus dari bangku kuliah. Jadi intinya,
perlu ada reorientasi pendidikan, khususnya di perguruan tinggi untuk lebih
mengarah pada penciptaan lulusan yang siap terjun menjadi enterpreneur.
Pola pengembangan pendidikan
tinggi yang berorientasi dalam menciptakan enterpreneur ini akan berjalan
lancar jika dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya,
khususnya yang menangani masalah kebijakan moneter dan perbankan. Lembaga
pemerintah yang bergerak dalam dua bidang ini harus memberikan akses kredit
yang cukup kepada para lulusan SMA dan perguruan tinggi yang telah dididik
dalam pola enterpreneur education ini, misalnya dengan meluncurkan young
enterpreneur credit program¨. Lebih jauh dari itu, pemerintah melalui bank-bank
BUMN bisa membentuk suatu lembaga keuangan khusus yang memang diarahkan untuk
mendanai bisnis yang dirintis oleh para enterpreneur muda ini.
Perbaikan dan peningkatan akses
pendidikan secara gratis adalah salah satu kunci mengatasi masalah rumit
pendidikan dan kemiskinan ini. Mengapa pendidikan ini penting untuk mengatasi
kemiskinan? Mengutip hasil penelitian Denison (1962) dan Solow (1957), Todaro
menyebutkan bahwa sumber utama dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan
negara-negara maju saat ini bukanlah physical capital, melainkan human
capital¨.
Rekomendasi Ke Depan
Rekomendasi Ke Depan
Kebijakan yang seyogyanya
ditempuh oleh pemerintah untuk mengurai problematika kemiskinan ini antara lain
dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dengan landasan
investasi baik asing maupun domestik. Dalam kaitannya dengan investasi sebagai
salah satu prasyarat pendorong pertumbuhan ekonomi, pemantapan kemandirian
potensi ekonomi lokal perlu diperkuat mengingat situasi ekonomi global yang tak
menentu. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan akan investasi asing yang
belum tentu akan berdampak positif bagi penciptaan lapangan kerja baru. Di sisi
lain, investasi dan belanja pemerintah perlu lebih diarahkan kepada pembangunan
infrastruktur terutama di pedesaan untuk mendorong dan memfasilitasi kegiatan
ekonomi masyarakat. Keberpihakan kepada rakyat perlu dipertegas dengan
mengurangi rigiditas pendistribusian anggaran dan efisiensi anggaran untuk
lebih ditujukan kepada proyek yang mampu memberdayakan masyarakat.
Perbaikan dan peningkatan akses
pendidikan secara gratis adalah salah satu kunci mengatasi masalah rumit
pendidikan dan kemiskinan ini. Mengapa pendidikan ini penting untuk mengatasi
kemiskinan? Mengutip hasil penelitian Denison (1962) dan Solow (1957), Todaro
menyebutkan bahwa sumber utama dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan
negara-negara maju saat ini bukanlah physical capital, melainkan human capital.
Oleh karenanya, komitmen pemerintah yang benar-benar nyata sangat ditunggu.
Selain akses pendidikan yang harus terbuka lebar, orientasi pendidikan pun
harus diarahkan kepada penciptaan lulusan sekolah yang mampu menjadi wirausaha
yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja, bukan hanya sekedar
pencari kerja. Pemerintah pun perlu memberikan dukungan dan penyederhanaan
aturan dalam mendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha baru.
Ke depan, kiranya upaya-upaya
untuk memerangi kemiskinan lebih difokuskan ke arah pengembangan aset ekonomi produktif
bagi kaum miskin. Hal ini bisa dilakukan dengan membantu kaum miskin yang
memiliki usaha kecil dan semangat kewirausahaan dengan bantuan permodalan,
pemberian kepastian hukum atas lahan yang dimiliki petani gurem, fasilitasi PKL
tanpa mengenyampingkan habitat usaha dan prospek pasar atas barang dagangan
mereka.
Akhirnya Pemerintah dan DPR
diharapkan memiliki visi yang sama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan
pengangguran dengan mengalokasikan anggaran untuk membuat kebijakan
mengoptimalkan modal kerja bagi masyarakat miskin yang berdampak jangka
panjang, dukungan terhadap infrastruktur di pedesaan. Pemerintah pusat dan
peran pemerintah daerah sangat dimungkinkan untuk memfasilitasi program ini.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar