Pengertian Sengketa
Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik.
Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau
organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu
– individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan
yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara
satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau
lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau
hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah
perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi
salah satu diantara keduanya.
Sengketa dapat di selesaikan dengan berbagai cara dintara nya :
Negosiasi
Pengertian Negosiasi :
- Proses
yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap
dan perilaku orang lain.
- Proses
untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari
pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain.
- Negosiasi
adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan
dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi
kepentingan kedua pihak.
Pola Perilaku dalam Negosiasi:
(1) Moving against (pushing): menjelaskan,
menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
(2) Moving with (pulling): memperhatikan,
mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan
interaksi.
(3) Moving away (with drawing):
menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak
menanggapi pertanyaan.
(4) Not moving (letting be): mengamati,
memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus,
fleksibel, beradaptasi dengan situasi.
Ketrampilan Negosiasi:
(1) Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian
seperti pihak lain mengamatinya.
(2) Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain
sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah
pendiriannya.
(3) Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri
dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
(4) Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian
rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang
diajukan.
(5) Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain
dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi
kendala.
Negosiasi dan Hiden Agenda:
Dalam negosiasi tak tertutup kemungkinan masing-masing pihak memiliki hiden agenda.
Hiden agenda adalah gagasan tersembunyi/ niat
terselubung yang tak diungkapkan (tak eksplisit) tetapi justru hakikatnya
merupakan hal yang sesungguhnya ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan.
Negosiasi dan Gaya Kerja
(1) Cara bernegosiasi yang dilakukan oleh seseorang sangat
dipengaruhi oleh gaya kerjanya.
(2) Kesuksesan bernegosiasi seseorang didukung oleh
kecermatannya dalam memahami gaya kerja dan latar belakang budaya pihak lain.
Fungsi Informasi dan Lobi dalam Negosiasi
(1) Informasi memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih
banyak memiliki informasi biasanya berada dalam posisi yang lebih
menguntungkan.
(2) Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang akan
ditawarkan sebaiknya dipertimbangkan lebih dulu.
(3) Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden
agenda dari salah satu/ kedua pihak, maka lobyingdapat
dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga
negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.
Pengertian Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau
mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan
yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan
hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada
paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama
proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari
para pihak.
Prosedur Untuk Mediasi
• Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua,
kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan
mediasi.
• Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada
mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
• Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara
supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi
kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
• Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak
pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan
penetapan.
Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.
Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting
dari mediator adalah :
1.
|
netral
|
|
2.
|
membantu para pihak
|
|
3.
|
tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
|
Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus
atau memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses
mediasi berlangsung kepada para pihak.
Tugas Mediator
1.
|
Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para
pihakuntuk dibahas dan disepakati.
|
|
2.
|
Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses mediasi.
|
|
3.
|
Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan
terpisah selama proses mediasi berlangsung.
|
4.
|
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik
bagi para pihak.
|
Daftar Mediator
Demi kenyamanan para pihak dalam menempuh proses mediasi, mereka berhak
untuk memilih mediator yang akan membantu menyelesaikan sengketa.
1.
|
Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan
menyediakan daftar mediator yang sekurang-kurangnya memuat 5(lima) nama dan
disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman dari para mediator.
|
|
2.
|
Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki
sertifikat dalam daftar mediator.
|
|
3.
|
Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada hakim dan bukan
hakim yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilanyang bersangkutan dapat
ditempatkan dalam daftar mediator.
|
|
4.
|
Kalangan bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada
pengadilan yang bersangkutan
|
|
5.
|
Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan
menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.
|
|
6.
|
Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar
mediator.
|
|
7.
|
Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar
mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain karena mutasi tugas,
berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas
pedoman perilaku.
|
Honorarium Mediator
1.
|
Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.
|
|
2.
|
Uang jasa mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan para pihak.
|
Arbitrase
Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin)
yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan”.
1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang
atau beberapa oramg arbiter.
2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan
secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter
itu sendiri;
3. Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian
perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di
bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
4. Asa final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase
bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya
hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah
disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah
untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan
adil,Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang
menghambat penyelisihan perselisihan.
Berdasarkan pengertian arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1990 diketahui
bahwa.
1. Arbitrase merupakan suatu perjanjian ;
2. Perjajian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan
sengketa untuk dilaksanakan di luar perdilan umum.
Dalam dunia bisnis,banya pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis
untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau
yang dihadapi.Namun demikian,kadangkala pertimbangan mereka berbeda,baik ditinjau
dari segi teoritis maupun segi empiris atau kenyataan dilapangan.
DASAR HUKUM ARBITRASE
Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”
Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia
Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya
yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
B. Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau
Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa :
“Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan
mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi
peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di
atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal
377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
C. Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
- Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623
RV)
- Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
- Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga
arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
E. Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia
yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan
peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua
peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950
tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No.
1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat
yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah
uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:
“Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah,
macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase
yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 :
“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan
pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya
dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan
Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi
atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes
Between States and Nationals of Other States”.
Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang
untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal
asing diputus oleh International Centre for the Settlement of
Investment Disputes (ICSD) di Washington.
H. Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New
York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww
York, yang diprakarsaioleh PBB.
I. Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958
, oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku
sejak tanggal di keluarkan.
J. UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar